header ads

Mencintai dengan TULUS, memberikan SENYUM

Ketika seseorang berbicara tentang cinta, maka apa yang sebetulnya sedang bercokol dalam hatinya adalah untuk dicintai.
Kalaupun ia mencoba mencintai seseorang, maka itu hanyalah agar dicintai. Ia mencintai untuk dicintai, sebagai balasannya. Dan bilamana ternyata yang dicintainya itu tidak membalasnya, maka ia akan sangat mudah berubah, bahkan berbalik membenci. Ia merasa kecewa, direndahkan, disepelekan, tidak dihargai, ditolak, ditampik, terhina atau sejenisnya. Yang tadinya ia sangka sebagai prilaku mencintai, kini telah berubah sama sekali. Kini ia berubah menjadi benci, bahkan dendam.

Apa yang sesungguhnya terjadi padanya? Apakah ia memang benar- benar mencintai orang, yang konon tadinya ia cintai itu? Ternyata tidak. Bukan karena ia kini membenci atau mendendam, namun karena keinginannya untuk memiliki, menguasai, mengangkangi bagi dirinya sendiri. Yang ada ketika itu sebetulnya samasekali bukan cinta.

Saya kira Anda pernah mendengar kata-kata indah: “Cinta bukanlah untuk memiliki, namun untuk dimiliki.” Anda boleh menyetujuinya atau tidak; akan tetapi, bilamana Anda benar-benar dapat menghadirkan sikap batin demikian, itu memang mampu membahagiakan. Dengan membiarkan diri untuk dimiliki tanpa merasa perlu memiliki.

Mencintai ataupun membenci seseorang atau sekelompok orang sepenuhnya ada dalam kewenangan Anda bukan? Anda tak dapat dipaksa untuk mencintai siapapun, kecuali hanya berpura-pura saja. Demikian pula orang lain; tak seorangpun dapat kita paksa untuk mencintai kita. Bila Anda benar-benar mencintai seseorang atau sekelompok orang, Anda tak perlu peduli apakah ia atau mereka mencintai Anda atau tidak. Anda hanya mencintainya. Itu saja. Sama sekali tidak ada urusannya dengan masalah kepemilikan, masalah memiliki, menguasai, mengangkangi.

Bila kita benar-benar dapat mencintai tanpa disertai atau dimotivasi keinginan yang kuat untuk memiliki, maka kita bisa merasakan kebahagiaan dari mencintai.Sebaliknya, kita hanya mengundang kepedihan, kesengsaraan. Ketulusan dalam mencintai itulah yang membahagiakan. Bukan balasan yang kita terima. Dalam ketulusan, tiada harapan, hasrat atau keinginan untuk menerima sesuatu sebagai imbalan. Dalam ketulusan, yang ada hanyalah sikap batin memberi dengan sukarela, dengan ikhlas. Itulah yang membahagiakan. Dan, itu pertanda bahwa cinta yang Anda berikan murni adanya.

Sesungguhnya, kita tidak pernah layak untuk dicintai bila belum siap untuk mencintai. Adalah keliru memandang dicintai sebagai hak, sementara tak merasa wajib untuk mencintai. Kewajiban semestinya selalu mesti didahulukan. Apakah kewajiban itu mensyaratkan kerja fisik, kerja verbal, kerja perasaan ataupun kerja pikiran, ia tetap mesti didahulukan.