“Terkadang kira menganggap hidup orang lain lebih enak, padahal mungkin saja dia lebih sulit, hanya saja dia tidak mengeluh.”
Cinderella.
Setiap bangun di pagi hari, aku berharap aku menjadi Cinderella. Tapi hal itu tak pernah terjadi. Kukucek mataku dan kutatap cermin meja rias.
Setiap bangun di pagi hari, aku berharap aku menjadi Cinderella. Tapi hal itu tak pernah terjadi. Kukucek mataku dan kutatap cermin meja rias.
Aku adalah aku.
Tidak ada yang berubah.
Tidak ada yang berubah.
Aku berjalan seperti biasa melewati tanah lapang yang nenperlihatkan segarnya rumput-rumput hijau. Kakiku akhirnya menapak di sebuah halte bus. Dengan peluh yang bercucuran, aku berdiri di pinggir halte menunggu bus yang akan mengantarku menuju kampus. Semoga hari ini tidak terlambat lagi.
Kudekap erat sebuah bungkusan berpita ungu yang sudah sangat rapi di dalam tanganku. Hari ini, aku akan mengunjungi Terre. Seulas senyum berkembang di bibirku. AKu bahkan tidak peduli juka harus terlambat datang ke kampus. Mau bagaimana lagi? Jam besuk untuk Terre hanya saat-saat ini.
Tiba-tiba…..
“Duk!!!”
“Aduh….” Seorang anak berusia 10 tahunan menabrakku dan menyambar bungkusan yang kubawa.
Sepersekian detik kemudian barulah aku menyadari, bungkusan yang telah kugenggam hilang, Aku menjerit sekeras mungkin, “Copeeeeeeeet!!!”.
Untungnya, beberapa orang sudah lebih dulu mengejar anak itu. Pikirku, dia adalah seorang anak jalanan dan pengamen. Dia membawa gitar kecil di dalam tasnya yang lusuh. Nasibnya kurang beruntung. Kenapa dia nekat mencuri di tempat seramai ini?
Aku berlari tergopoh-gopoh saat anak itu sudah dikepung oleh warga. Mereka mengembalikan bingkisan milikki. Sudah terkoyak. Sesaat itu juga aku merasa hatiku untuk Terre ikut terkoyak. Anak itu meringkuk ketakutan di tengah kerumunan massa. Ia sempat mengangkat wajahnya. Mata kami saling bersitatap.
Aku tidak punya kata lagi. Anak itu pun hanya diperingatkan oleh warga. Setelah mereka tahu yang dicuri bukanlah barang berharga, warga bubar dengan cepat. Sempat pula ada yang hampir memukuli anak itu, tapi akhirnya suasana cukup terkendali. Barangku kembali saja aku sudah senang. Aku mengucapkan terima kasih pada warga. Seorang bapak mengusir pengamen cilik itu supaya pergi jauh-jauh.
Tak ingin kupikirkan lagi tentang anak itu.
Terre itu sahabatku. Sudah lama ia divonis sakit leukimia, dan belakangan ini kondisinya semakin tidak baik. Aku hanya bisa melihatnya berbaring lemah di ranjang. hari ini bukan ulang tahun Terre, tapi aku ingin memberinya hadiah. “Ve….” Terre memanggil namaku.
“Aku mengucap syukur atas hidupku… Mungkin tidak lama dan… apa yang kamu beri ini… aku ingin kamu bagikan pada orang lain…” Terre memegang tanganku dengan tangannya yang ringkih. Air mataku tidak bisa berhenti mengalir.
Tuhan masih sama. Itu yang sering diucapkan Terre pada semua orang. Tubuhnya mungkin kini sudah rapuh, tetapi jiwanya tidak.
Aku menunggu di halte bus dengan isi bungkusan yang sama. Hanya saja aku mengganti bungkusnya dengan yang baru.
Aku menunggu dan menunggu. Berbagai macam bus sudah lewat tapi tidak satupun yang kunaiki. Aku sedang menunggu anak pengamen yang menjambretku tempo hari. Mungkin dia sudah tidak berani lagi kemari.
Tak kusangka… Ternyata aku masih bisa bertemu dengan anak itu. Ia sedang mengantongi beberapa koin kedalam saku celananya. Kembali kami bersitatap.
“Hei!…” panggilku pada anak itu.
“Ada apa mbak?” tanya anak itu tanpa rasa takut.
“Ini” aku menyodorkan bungkusan yang seharusnya menjadi milik Terre. Air mataku hampir tumpah tapi aku berhasil menahannya sekuat hati.
“Sahabatku ingin kamu memilikinya…”
Anak jalanan itu menerima bungkusan yang kuberikan. Dibukanya di tempat itu juga. Akupun dapat melihat di depan mataku. Anak itu sangat senang menerima topi yang kuberikan.
Ya, topi. Pemberian sederhana yang berarti besar. Rambut Terre mulai rontok. Tapi aku ingin dia tetap gembira dan bergaya dengan topi. Nyatanya bermaksud menolak tapi Terre merasa tidak membutuhkan topi. Akupun tidak merasa tersinggung. Dia tidak ingin pakai topi,tidak ingin pakai wig. Dia tidak malu jika orang melihat rambutnya yang gundul dan Terre tidak marah pada Tuhan.
Kini topi itu diberikan Terre untuk orang yang tepat. Jadi sianak jalanan itu tidak akan teralu kepanasan di jalan. Terre mengajarku arti pmberian yang sebenarnya,
Kudekap erat sebuah bungkusan berpita ungu yang sudah sangat rapi di dalam tanganku. Hari ini, aku akan mengunjungi Terre. Seulas senyum berkembang di bibirku. AKu bahkan tidak peduli juka harus terlambat datang ke kampus. Mau bagaimana lagi? Jam besuk untuk Terre hanya saat-saat ini.
Tiba-tiba…..
“Duk!!!”
“Aduh….” Seorang anak berusia 10 tahunan menabrakku dan menyambar bungkusan yang kubawa.
Sepersekian detik kemudian barulah aku menyadari, bungkusan yang telah kugenggam hilang, Aku menjerit sekeras mungkin, “Copeeeeeeeet!!!”.
Untungnya, beberapa orang sudah lebih dulu mengejar anak itu. Pikirku, dia adalah seorang anak jalanan dan pengamen. Dia membawa gitar kecil di dalam tasnya yang lusuh. Nasibnya kurang beruntung. Kenapa dia nekat mencuri di tempat seramai ini?
Aku berlari tergopoh-gopoh saat anak itu sudah dikepung oleh warga. Mereka mengembalikan bingkisan milikki. Sudah terkoyak. Sesaat itu juga aku merasa hatiku untuk Terre ikut terkoyak. Anak itu meringkuk ketakutan di tengah kerumunan massa. Ia sempat mengangkat wajahnya. Mata kami saling bersitatap.
Aku tidak punya kata lagi. Anak itu pun hanya diperingatkan oleh warga. Setelah mereka tahu yang dicuri bukanlah barang berharga, warga bubar dengan cepat. Sempat pula ada yang hampir memukuli anak itu, tapi akhirnya suasana cukup terkendali. Barangku kembali saja aku sudah senang. Aku mengucapkan terima kasih pada warga. Seorang bapak mengusir pengamen cilik itu supaya pergi jauh-jauh.
Tak ingin kupikirkan lagi tentang anak itu.
Terre itu sahabatku. Sudah lama ia divonis sakit leukimia, dan belakangan ini kondisinya semakin tidak baik. Aku hanya bisa melihatnya berbaring lemah di ranjang. hari ini bukan ulang tahun Terre, tapi aku ingin memberinya hadiah. “Ve….” Terre memanggil namaku.
“Aku mengucap syukur atas hidupku… Mungkin tidak lama dan… apa yang kamu beri ini… aku ingin kamu bagikan pada orang lain…” Terre memegang tanganku dengan tangannya yang ringkih. Air mataku tidak bisa berhenti mengalir.
Tuhan masih sama. Itu yang sering diucapkan Terre pada semua orang. Tubuhnya mungkin kini sudah rapuh, tetapi jiwanya tidak.
Aku menunggu di halte bus dengan isi bungkusan yang sama. Hanya saja aku mengganti bungkusnya dengan yang baru.
Aku menunggu dan menunggu. Berbagai macam bus sudah lewat tapi tidak satupun yang kunaiki. Aku sedang menunggu anak pengamen yang menjambretku tempo hari. Mungkin dia sudah tidak berani lagi kemari.
Tak kusangka… Ternyata aku masih bisa bertemu dengan anak itu. Ia sedang mengantongi beberapa koin kedalam saku celananya. Kembali kami bersitatap.
“Hei!…” panggilku pada anak itu.
“Ada apa mbak?” tanya anak itu tanpa rasa takut.
“Ini” aku menyodorkan bungkusan yang seharusnya menjadi milik Terre. Air mataku hampir tumpah tapi aku berhasil menahannya sekuat hati.
“Sahabatku ingin kamu memilikinya…”
Anak jalanan itu menerima bungkusan yang kuberikan. Dibukanya di tempat itu juga. Akupun dapat melihat di depan mataku. Anak itu sangat senang menerima topi yang kuberikan.
Ya, topi. Pemberian sederhana yang berarti besar. Rambut Terre mulai rontok. Tapi aku ingin dia tetap gembira dan bergaya dengan topi. Nyatanya bermaksud menolak tapi Terre merasa tidak membutuhkan topi. Akupun tidak merasa tersinggung. Dia tidak ingin pakai topi,tidak ingin pakai wig. Dia tidak malu jika orang melihat rambutnya yang gundul dan Terre tidak marah pada Tuhan.
Kini topi itu diberikan Terre untuk orang yang tepat. Jadi sianak jalanan itu tidak akan teralu kepanasan di jalan. Terre mengajarku arti pmberian yang sebenarnya,
Aku adalah aku.
Dan aku bukan Cinderella.
Aku bersyukur untuk itu.
Dan aku bukan Cinderella.
Aku bersyukur untuk itu.