TONGKONAN adalah rumah tradisional masyarakat Toraja. Terdiri dari tumpukan kayu yang dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata “tongkonan” berasal dari bahasa Toraja yang berarti tongkon ”duduk”.
Selain rumah, Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan rumah adat ini sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja. Oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, Tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.
Dalam kisah lainnya, diceritakan ketika seorang Pemangku Adat bernama Londong di Rura(Ayam jantan dari Rura) berupaya menyatukan kelompok dengan menyelenggarakan Upacara Adat besar. Upacara itu dinamai MA’BUA tanpa melalui musyawarah adat dan upacara memotong babi. Kemudian Tuhan menjatuhkan laknat dan kutukan sehingga tempat upacara terbakar dan menjadi danau yang dapat disaksikan sekarang antara perjalanan dari Toraja ke Makassar (KM 75). Kemudian bercerai-berailah komunitas tersebut ada yang ke selatan dan ke arah utara.
Sementara kelompok yang menuju ke utara sampai di sebuah tempat di kaki Gunung Kandora yang dinamakan Tondok Puan. Mereka mendirikan rumah adat tempat pertemuandengan nama Banua Puan; artinya rumah yang berdiri di tempat yang bernama Puan. Kemudian dinamakan Tongkonan yang artinya Balai Musyawarah. Bangunan itu merupakan Tongkonan pertama di Toraja dan komunitas pertama yang terbentuk bernama ToTangdilino; artinya pemilik bumi yang diambil dari nama Pemangku Adat pertama (Pimpinan Komunitas To Lembang).
Rumah adat ini merupakan rumah panggung dengan konstruksi rangka kayu. Bangunannya terdiri atas 3 bagian, yaitu ulu banua (atap rumah), kalle banua (badan rumah), dan sulluk banua (kaki rumah). Bentuknya persegi karena sebagai mikro kosmos rumah terikat pada 4 penjuru mata angin dengan 4 nilai ritual tertentu. Tongkonan harus menghadap ke utara agar kepala rumah berhimpit dengan kepala langit (ulunna langi’) sebagai sumber kebahagiaan.
Secara teknis pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan, sehingga biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonanlayuk adalah tempat kekuasaan tertinggi. Digunakan sebagai pusat “pemerintahan”. Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal. Sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusivitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang dapat pekerjaan menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
Jadi tongkonan bagi masyarakat Toraja lebih dari sekadar rumah adat. Dan setiap tongkonan terdiri dari; Tongkonan (rumah) dan Alang (lumbung) yang dianggap pasangan suami-istri. Deretan Tongkonan dan Alang saling berhadapan. Tongkonan menghadap ke utara dan Alang ke selatan. Halaman memanjang antara Tongkonan dan Alang disebutUluba’bah.
Selain sebagai rumah adat, Suku Toraja mengenal 3 jenis Tongkonan menurut peran adatnya, walau bentuknya sama persis, yaitu: Tongkonan Layuk : sebagai pusat kekuasaan adat dan tempat membuat peraturan. Tongkonan Pekaindoran/Pekanberan : tempat untuk melaksanakan peraturan dan perintah adat. Tongkonan Batu A’riri: tempat pembinaan keluarga serumpun dengan pendiri Tongkonan.
Sumber: http://www.wacananusantara.org/makna-tongkonan-di-tana-toraja