Nana adalah seorang gadis perantau di kota besar. Ia berasal dari keluarga sederhana di sebuah kota kecil yang cukup jauh dari tempatnya bekerja. Ia merantau untuk mendapatkan penghasilan yang layak dan membantu keluarganya. Nana sudah memiliki kekasih di kampung yang bernama Agus. Pria tersebut juga merantau, namun di kota yang berbeda. Setiap hari mereka berhubungan via SMS untuk menghemat uang. Kadang mereka saling telepon seminggu sekali. Nana dan Agus sudah sejak SMA menjalin cinta dan dengan meniti karir ini, mereka sudah memiliki gambaran untuk menikah. Namun dalam seminggu ini, ada yang membuat Nana sedikit berubah. Gadis cantik itu bertemu dengan seseorang di kantornya yang benar-benar bak pria metropolis. Dani namanya. Tubuhnya selalu wangi, saat membantu Nana yang tengah mengalami kesulitan kadang Dani begitu dekat di samping Nana, suaranya juga enak didengar. Keberadaan Dani sedikitnya menggoyahkan hati Nana. Gadis itu mulai jarang menghubungi Agus dengan alasan sibuk. Agus pun tak berpikiran negatif karena berpikir bahwa tak mudah bagi wanita bekerja di kota besar.
"Yang penting jangan lupa makan ya, Dik. Jangan sampai sakit juga," pesan Agus pada Nana.
Seiring waktu berlalu, Nana dan Dani mulai dekat. Seringkali pria itu mengajaknya makan siang bersama. Diam-diam Nana sangat senang dengan semua yang dialaminya. Dani terlihat tampan dan modern. Ia juga tak pernah nampak bersama wanita lain, jadi Nana merasa jadi putri bagi Dani. Tapi, bagaimana dengan Agus? Seringkali pertanyaan itu muncul, namun Nana segera menepisnya. Ia sedang menikmati masa-masa indah ini. Agus mulai merasa tidak enak. Kekasihnya mulai ogah-ogahan saat diajak SMS atau telepon. Nana juga sering membatalkan kepulangannya ke kampung. Hingga yang paling mencengangkan, di bulan keenam mereka sama-sama merantau, Nana minta putus.
"Aku nggak tahan hubungan jarak jauh begini, Mas," ujarnya.
"Nggak tahan atau ada orang lain, Dik?" tanya Agus di ujung telepon. Nana terdiam.
Sejak saat itu hubungan mereka menggantung. Nana tak bisa menjelaskan alasannya minta putus, sehingga Agus masih sering menghubunginya untuk mempertahankan kisah cinta mereka. Tak berapa lama, Nana mulai merasakan perubahan dari Dani. Tumben dia jarang menghampiri Nana ke ruangannya lagi. Ketika berpapasan pun reaksinya tak seantusias dulu. Meski Nana mencoba untuk lebih atraktif, namun Dani seolah sudah menggelar jarak yang jauh di antara mereka. Suatu siang ketika sedang makan siang dengan senior, Nana melihat Dani nampak akrab dengan seorang wanita di kantin.
Setengah cemburu, ia bertanya pada teman makan siangnya, "Yang sedang bersama Mas Dani siapa ya, Mbak?"
"Oh itu pacarnya. Anak kantor sebelah. Awet lho mereka sudah lima tahun ini," jawab sang senior polos.
Petir bagai menyambar hati Nana. Ia tak percaya dengan apa yang ia dengar,
"Pacar? Kok jarang kelihatan bareng-bareng, Mbak?" Nana bertanya lagi sambil pura-pura tenang.
"Kalau nggak salah, pacarnya itu barusan kembali dari kantor cabang di kota lain. Beberapa tahun lalu sempat kerja di kantor sebelah kok. Sejak itu mereka jadian. Nggak tahan LDR mungkin, makanya balik lagi. Hihihihi..." celetuk senior Nana.
Nana makin terpekur dalam kekecewaan. Celetukan seniornya seolah menjadi petir kedua. Ia ingat alasannya minta putus dari Agus adalah karena tidak tahan dengan hubungan jarak jauh. Padahal dia sedang kasmaran dengan orang yang... yang bahkan sudah lima tahun punya pacar. Di satu sisi Nana kecewa dan marah. Ia seperti dipermainkan, namun juga malu karena yang mempermainkannya sama-sama punya hubungan jarak jauh dan masih bisa kembali kepada pacarnya. Sementara Nana? Ia telah menelantarkan perasaan Agus yang setiap hari tak pernah menyerah menghubunginya dan berusaha mempertahankan kisah cinta mereka. Malam harinya, ketika Agus kembali menghubunginya, Nana merasa sangat senang. Ia seperti sudah menanti telepon itu sejak bertahun-tahun lamanya. Agus sedikit heran dengan Nana yang menahannya menutup telepon.
"Kamu nggak apa- apa, Dik? Kok kayanya betah banget mas ajak telepon." tanya Agus.
Nana terdiam sejenak. Tak lama ia menjawab, "Maafkan aku ya, Mas. Aku menyesal sudah menelantarkan hubungan kita. Aku terlena dengan kota besar, tapi Mas masih mau menghubungiku." Agus
mengerti makna di balik jawaban Nana. Ia terdengar tersenyum dan menukas,
"Aku mungkin nggak sempurna, Dik. Tapi aku punya cinta yang sempurna buat kamu. Aku selalu ingat pada cita-cita kita untuk menikah. Sambil berjuang menuju ke sana, aku juga harus memperjuangkanmu, to?" Agus bertanya dengan logat Jawa yang kental.
Air mata Nana menetes di pipi. Ia bahkan hampir lupa dengan tekad mereka untuk menikah. Ia hampir menukar pria yang baik dengan pria yang hanya menggunakan dirinya sebagai pengisi kekosongan semata.
Cinta adalah perjalanan penuh liku dan godaan. Kadang kita menemukan sosok yang nampak lebih sempurna, namun bukan berarti perasaan kagum kita padanya adalah cinta sejati. Cinta yang sejati, tak akan lekang pada jarak dan waktu